Prawan Kalimantan
/ Girl from Borneo
Rino wengi tansah
kelingan / Always thinking of you night and day
Prawan ayu Kalimantan / A
beautiful girl from Borneo
Bantal guling tak
sayang-sayang / I kiss my bolster and pillow
nganti koyo wong
kedanan / like I were crazy
cempedhak mas dudu
nongko / Cempedhak is not a jack-fruit
mbiyen cedhak ra wani
kondho / You dared not say it when we were so close
ning opo sliramu
lungo / Why did you have to go
ninggal mulih 'ra
kondho-kondho / leaving me without word
Saben dino aku
ngalamun / I think of you every single day
tekan ngomah atiku
bingung / I missed you once I got home
jane tresno ra wani
nembung / I love you but I dare not say it
rasane koyo wong
linglung / feels like being absent-minded
wangi-wangi banyune
sabun / the sweet odor of soapy water
tak rewangi adus
kungkum / I'm soaking in a bathtab
tresnaku ra bakal
alum / My love will never die
tak enteni yen mase
purun / I'll be waiting if you want me too
Aduh...... Pake make
aduh / Oh Mom and Dad …
Hatiku rindu kangen
tenanan / I miss him so bad
Kangmasku pulang,
kangmasku mulih / My love had gone
ning tanah
sebrang / across the sea
Beninge banyu
Kalimantan / The clear water of Borneo
mbiyen sing tak umbe
sayang / which I used to drink
Ngelingake naliko mbiyen
kenalan / reminds me of the time we first met
Salah satu kesulitan yang
saya jumpai dalam menerjemahkan lirik lagu berbahasa Jawa adalah
adanya bait yang bentuknya seperti pantun. Pantun adalah bentuk sajak
yang terdiri dari empat baris, terdiri dari dua baris pertama yang
disebut sampiran dan dua baris berikutnya yang disebut isi. Sajaknya
berima a-b-a-b. Yang spesial dari pantun ini adalah makna dari
kata-kata yang ada di bagian sampiran sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kata-kata yang terdapat di bagian isi. Sampiran
diciptakan hanya untuk alasan estetika bunyi, yaitu membentuk akhiran
bunyi (rima) yang sama dengan bagian isi.
Dalam lirik lagu berbahasa
Jawa sering dijumpai juga bentuk pantun 'kilat' yang hanya terdiri
dari satu baris sampiran dan satu baris isi. Contohnya seperti yang
ada pada bait kedua lirik lagu Mas Didi Kempot di atas. Kata-kata
“cempedhak mas, dudu nongko” hanya berfungsi sebagai sampiran.
Esensi dari sampiran ini bukanlah makna kata-katanya, melainkan bunyi
akhiran -o pada kata “nongko” yang nantinya akan selaras dengan
bunyi akhiran -o pada kata “kondho” di baris berikutnya. Sekali
lagi, nama buah-buahan di bagian sampiran ini tidak ada hubungan
sedikitpun dengan makna kata-kata “mbiyen cedhak ra wani kondho”
pada bait selanjutnya. Penulis lirik sah-sah saja menggantinya dengan
“Cempedhak mas, dudu semongko” tanpa kehilangan estetika
persamaan bunyi akhir yang dihasilkan.
Contoh pantun yang terdiri
dari 2 baris sampiran dan 2 baris isi bisa dilihat pada bait ke-4.
Dua baris pertama hanya berfungsi sebagai sampiran, bukan isi
perasaan atau cerita yang ingin disampaikan si penulis. Jadi si
penulis tidak benar-benar “adus kungkum” pakai “banyu sabun”
setelah ditinggal si perawan Kalimantan. Kata “sabun” dan
“kungkum” dihadirkan hanya untuk membentuk rima un/um dengan kata
“alum” dan “purun” pada dua baris berikutnya.
Saat harus menerjemahkan
bait di atas ke dalam bahasa lain yang tidak mengenal sampiran dan
isi, saya menghadapi dilema: apakah harus mempertahankan isi dari
kata-kata dalam sampiran atau menggantinya dengan kata lain demi
mendapatkan efek bunyi akhir yang sama? Sebuah pilihan yang sulit.
Tetapi, saya kira, itulah tugas seorang penerjemah yang sesungguhnya,
bisa menyampaikan ulang pesan sesuai dengan aslinya tanpa merusak
tatanan dan estetika. Dan dalam terjemahan ini saya belum berhasil
melakukannya.
Tariikk sissss
ReplyDelete