Sunday, July 28, 2019

Cara Setting LPD sebagai Alternatif Samba Printer Sharing


Akhir-akhir ini saya mengalami masalah yang cukup membuat frustasi ketika harus mencetak dokumen dari Ubuntu 18.04 ke shared printer di Windows via protokol Samba. Setiap kali mencetak selalu muncul notifikasi “held for authentication” dan ketika saya masukkan username dan password, hasilnya tetap nihil – perintah mencentak dokumen gagal dikirim ke printer.

Setelah browsing sana-sini, akhirnya solusinya berhasil saya temukan. Selain Samba, ternyata ada protokol sharing printer lain yang bisa digunakan di jaringan komputer multi-sistem operasi. Namanya Line Printer Daemon (LPD). Protokol ini pertama kali diimplementasikan pada Berkeley printing system di OS BSD UNIX di tahun 90an. LPD juga didukung oleh protokol yang lebih umum seperti CUPS (Common UNIX Printing System) dan IPP (Internet Printing Protocol).

Tanpa banyak basa-basi. Berikut cara setting LPD pada OS Windows 10 sebagai host dan GNU/Linux sebagai komputer client.

Setting di Windows 10 (Host)

  • Pastikan di komputer ini sudah terinstal driver printer yang akan di-shared dan printer dalam posisi on. Untuk memudahkan setting, gunakan nama tanpa spasi dan karakter khusus untuk nama printernya.
  • Selanjutnya, silakan masuk ke Control Panel > Programs and Features > Turn Windows features on or off . Klik tanda [+] pada Print and Document Services lalu kasih tanda centang untuk opsi LPD Print Service.
  • Silakan klik OK dan tunggu prosesnya hingga selesai. 




















    Setting di GNU/Linux (client)

  • Buka Printer Settings, Klik Unlock lalu masukkan password admin
  • Klik [+] Add Printer
  • Klik Network Printer, lalu pilih LPD/LPR Host or Printer.
    Pada bagian Host, isi dengan IP address komputer host.
    Pada bagian Queue, isi dengan nama printer yang di-shared. Jika nama printer memakai spasi, gunakan karakter %20 untuk menggantikan spasi.
  • Klik Probe. Jika ada prompt autentikasi, silakan masukkan username dan password.
  • Klik Forward, lalu pilih driver printer sesuai vendor dan jenis printer yang di-shared. Jika model printer tidak ditemukan, berarti driver belum tersedia di sistem. Silakan browsing di Internet dan instal dulu driver yang dibutuhkan.
  • Klik OK, atau coba Print Test Page. Jika dokumen test page bisa tercetak, berarti Anda sudah berhasil menambahkan printer dengan benar.  
Selamat mencetak. Semoga tutorial ini bermanfaat.

Saturday, July 13, 2019

GNOME di Balik Layar Bioskop


Menonton film di bioskop sudah menjadi tren dan bagian dari gaya hidup jaman ini. Sebagai penonton kepo, terkadang saya tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu bagaimana proses distribusi film hingga sampai ke bioskop-bioskop lokal dalam waktu yang hampir bersamaan dan sebenarnya media apa yang dipakai untuk bisa menghasilkan kualitas gambar yang tetap detail meskipun diproyeksikan ke layar berukuran jumbo. Dan pengalaman saya menonton film The Hustle di XXI kemarin mununtun saya untuk menemukan secercah jawaban dari sebagian teka-teki di atas.

Biasanya sambil menunggu filmnya mulai, penonton akan disuguhi sejumlah iklan atau trailer film terbaru yang akan segera tayang. Nah, tidak seperti biasanya, kemarin saya mengalami momen kaget ketika tepat sebelum filmnya diputar. Hanya selama sepersekian detik, di layar sempat muncul penampakan janggal seperti di bawah ini.



Ya, betul. Itu adalah tampilan desktop GNOME 2 jadul yang biasa terpasang di sistem operasi Oracle, GNU/Linux atau freeBSD. Pertanyaan yang kemudian mengusik pikiran saya adalah mengapa harus Gnome 2 yang dipakai? Setelah browsing sana-sini, akhirnya pencerahan pun berhasil saya dapatkan dari forum kaskus dan wikipedia.

Ternyata format file multimedia yang bisa dibaca mesin proyektor digital di bioskop-bioskop - seperti Cinema 21, XXI, CGV, Platinum Cineplex - adalah DCP (Digital Cinema Package) atau biasa disebut composition dalam industri perfilman. Jadi bukan yang format .mp4,.mov,.avi ataupun .vob yang biasanya ada di dalam kepingan DVD. Paket berformat DCP ini berisi track gambar ukuran 2K hingga 4K yang dikompresi menggunakan JPEG 2000 dan track audio WAV multichannel yang tidak dikompresi (24-bit linear PCM). Jadi bisa dipastikan ukurannya akan jauh lebih besar beberapa kali lipat dari format film standar seperti mp4.

Nah, film yang sudah dalam bentuk DCP (biasanya sudah dienkripsi untuk menghindari penyalinan berkas secara ilegal) ini nantinya akan di-ingest (disalin) ke media penyimpanan (hard disk) server di bioskop yang biasanya menggunakan format filesystem jenis EXT2 atau EXT3 agar bisa dibaca proyektor. Di sinilah sumber pencerahannya. EXT2 dan EXT3 adalah filesystem native yang dipakai di OS berbasis GNU/Linux. Sebagai perbandingan, MacOS memakai filesystem native APFS, OS Windows 7-10  memakai NTFS, freeBSD sekarang memakai ZFS. Jadi, tidak ada yang aneh dan sangat masuk, Pak Eko, jika desktop GNOME dan GNU/Linux sedang aktif bekerja dibalik layar ketika para penonton duduk manis sambil mengunyah popcorn.

Selamat menonton.

Virtual Keyboard Aksara Jawa dengan PyGObject (Python3 + GTK3)

Aksara Jawa merupakan aksara Nusantara yang umum dipakai di pulau Jawa pada abad 15 hingga awal abad 20. Aksara Jawa sebenarnya dit...